berita

ByRSU Harapan Ibu

Gangguan Bicara dan Bahasa Pada Anak, Bagaimana Menyikapinya?

Oleh dr. Ega Dwi Putranto – Dokter Umum RSU HI

Orang tua pada umumnya antusias menunggu awal perkembangan bicara anak mereka. Bila anak tidak dapat bicara normal, maka tidak jarang mereka akan mengira bahwa anak mereka bodoh atau retardasi. Perkembangan bicara anak diluar normal merupakan hal yang mengkhawatirkan bagi orang tua sehingga sering membawanya ke dokter.

Kemampuan berbahasa memang betul merupakan suatu indikator perkembangan anak. Seorang anak tidak akan mampu berbicara tanpa dukungan dari lingkungannya. Periode kritis bagi perkembangan kemampuan berbicara dan bahasa adalah periode antara 9 -24 bulan awal kehidupan. Periode 2 -4 tahun pertama menunjukkan  peningkatan yang cepat dalam jumlah dan kompleksitas perkembangan berbicara, kekayaan perbendaharaan kata, dan kontrol neuromotorik.

Penyebab kelainan berbahasa bermacam – macam yang melibatkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi, antara lain kemampuan lingkungan, pendengaran, kognitif, fungsi saraf, emosi psikologis dan lain sebagainya. Masing – masing faktor penyebab tersebut mengakibatkan efek pada perkembangan bicara yang berbeda – beda. Terdapat banyak klasifikasi kelainan bahasa pada anak yang dapat menjadikan pedoman. Penegakkan diagnosa gangguan bicara dan bahasa pada anak tidak mudah dan memerlukan pemeriksaan yang komprehensif bahkan sampai dengan pengamatan di lapangan pada saat anak bermain, serta tidak jarang memerlukan bantuan psikolog / neuropsikiater anak. Deteksi dan penanganan dini pada problem bicara dan bahasa pada anak, akan membantu anak – anak dan orang tua untuk menghindari atau memperkecil kelainan pada masa sekolah. Prognosis atau kemungkinan kesembuhan gangguan bicara pada anak tergantung pada penyebab dan penanganannya sejak dini. Oleh karena itu alangkah bijak apabila orang tua dapat mengkonsultasikan gangguan bicara dan bahasa anaknya kepada dokter atau dokter spesialis anak, apakah hal tersebut masih dalam tahap yang normal atau sudah mengalami keterlambatan karena penyebab tertentu. Semoga bermanfaat

ByRSU Harapan Ibu

Taukah anda batas waktu penggunaan obat setelah kemasan dibuka?

oleh : Dna Raras Mardena S.Farm., Apt – Apoteker RSU HI

Sebelum kita mengetahui batas waktu penggunaan obat setelah kemasan primer dibuka, ada baiknya kita mengetahui pengertian ED (Expiration date)/ kadaluwarsa dan BUD (Beyound use date). Penetapan batas waktu penggunaan obat setelah kemasan primer dibuka berbeda dengan ED Expiration date / kadaluwarsa yang tertera di kemasan. Tidak jarang masyarakat menganggap ED/ kadaluwarsa obat setelah kemasan dibuka dianggap tetap sama dengan yang tertera pada kemasan, padahal ED obat tersebut telah berubah.

ED/kadaluwarsa yang telah berubah setelah kemasan primer dibuka dikenal dengan istilah Beyound use date (BUD). BUD memberikan batasan waktu kepada pasien kapan obat tersebut masih layak untuk digunakan setelah kemasan primer obat dibuka. (Thompson, 2012).

            Berikut ini petunjuk umum penetapan BUD obat :

  1. Obat yang diminum mengandung air = BUD tidak lebih dari 14 hari jika disimpan pada suhu dingin yang terkontrol    
  2. Obat cair / semipadat secara oles topical/dermal/mucosal = BUD tidak lebih dari 30 hari
  3. Obat yang tidak mengandung air   = BUD tidak lebih dari 25% waktu yang tersisa dari masing-masing obat hingga kadaluwarsa atau 6 bulan dipilih yang lebih singkat.

Petunjuk ini dapat digunakan jika sediaan obat tersebut dikemas dalam wadah kedap dan tidak tembus cahaya, disimpan pada suhu yang sesuai dan terkontrol (kecuali dinyatakan lain). (Thompson, 2009).

Demikian informasi mengenai batas penggunaan obat setelah kemasan primer di buka, jika terdapat informasi yang kurang jelas mengenai BUD atau anda masih bingung untuk menetapkan BUD obat yang anda konsumsi ada baiknya menghubungi apoteker terdekat untuk mendapatkan informasi tersebut. Demikian artikel ini dibuat semoga bermanfaat.

ByRSU Harapan Ibu

PENTINGNYA ANC PADA KEHAMILAN RESTI DAN JANIN DENGAN PJB

Oleh dr. Mugi Tri Sutikno – Dokter Umum RSU HI

Antenatal care (ANC) adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh dokter untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil. Melalui ANC dokter dapat mengenali dan menangani sedini mungkin penyulit dan penyakit yang menyertai saat kehamilan, persalinan, dan nifas. Salah satu penyakit pada kehamilan yang mempunyai resiko tinggi (resti) adalah janin dengan penyakit jantung bawaan (PJB).

Tipe PJB

Secara garis besar PJB dikelompokan menjadi 2 tipe, yaitu PJB Sianotik dan PJB non sianotik. PJB sianotik memyebabkan kulit di ujung-ujung anggota gerak dan mukosa lidah/bibir bayi/anak menjadi kebiruan akibat kurangnya kadar oksigen didalam darah. Sedangkan PJB non sianotik umumnya menimbulkan gejala gagal jantung yang ditandai dengan sesak yang memberat dengan menetek/aktivitas dan gangguan pertumbuhan yang menyebabkan kekurangan gizi.

Faktor Resiko

Sejauh ini, penyebab PJB belum diketahui secara pasti, diperikirakan faktor genetik (bawaan) dan faktor lingkungan berperan penting terkait meningkatnya angka kejadian PJB. Ibu hamil yang menderita diabetes, hipertensi, penyakit infeksi (rubella), Ibu hamil dengan usia > 35 tahun, pernikahan sedarah, serta paparan asap rokok selama kehamilan menjadi faktor resiko yang perlu diwaspadai.

Pencegahan dan Deteksi Dini PJB

Penting untuk diperhatikan pembentukan organ-organ vital pada janin terutama jantung berlangsung pada fase awal kehamilan dan hampir selesai pada 4 minggu pertama setelah pembuahan, sehingga menjaga kesehatan, mengoptimalkan asupan nutrisi, serta menghindari paparan asap rokok merupakan kunci pencegahan terhadap kelainan jantung bawaan. Kehamilan resiko tinggi seperti yang telah dijelaskan diatas disarankan melakukan pemeriksaan ANC secara teratur ke dokter spesialis kandungan (minimal 4x selama kehamilan).

ByRSU Harapan Ibu

Hipertensi Bisa Terjadi Pada Anak, Apa Akibatnya dan Bagaimana Solusinya ?

Oleh dr. Ega Dwi Putranto – Dokter Umum RSU HI

Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan permasalahan yang dapat terjadi pada semua kelompok usia, tidak terkecual anak – anak. Data Departemen Kesehatan RI pada tahun 2013 menyebutkan bahwa angka kejadian hipertensi pada remaja usia 15 -17 tahun adalah sekitar 5,3% dan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya angka kejadian obesitas (kegemukan). Deteksi dan penanganan dini hipertensi pada anak sangat penting dilakukan untuk mencegah komplikasi, hal ini dikarenakan hipertensi pada masa kanak – kanak dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah pada saat dewasa nantinya.

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi digolongkan menjadi 2, yaitu hipertensi esensial (primer) yang penyebabnya belum diketahui secara pasti (sering pada remaja) dan hipertensi sekunder yang pada anak biasanya muncul akibat adanya penyakit yang mendasarinya (paling sering diakibatkan oleh penyakit ginjal). Faktor risiko terjadinya hipertensi pada anak antara lain riwayat keluarga dengan hipertensi, kondisi stress, usia, jenis kelamin, ras / etnis, riwayat berat bayi lahir yang rendah, prematuritas (belum matang saat persalinan), status gizi, aktivitas fisik, asupan natrium, konsumsi alkohol, kopi, dan merokok. Selain pengobatan yang diberikan oleh dokter, perubahan gaya hidup harus dilakukan pada semua anak dengan hipertensi, mencakup penurunan berat badan, diet rendah lemak dan garam, olahraga secara teratur, menghentikan paparan rokok (termasuk perokok pasif), menghentikan kebiasaan minum alkohol, dan edukasi berbasis keluarga sangat dibutuhkan.            

Pengukuran hipertensi pada anak tidak dapat disamakan dengan usia dewasa. Terdapat pedoman dan tata cara pengukuran tersendiri untuk menilai hipertensi pada anak. Nilai tekanan darah dapat dipengaruhi oleh faktor usia, jenis kelamin, dan tinggi badan sehingga kategori normal tidak bisa disamakan untuk semua orang. Oleh karena itu screening hipertensi pada anak bijak dilakukan apabila memiliki faktor risiko di atas. Terimakasih semoga bermanfaat

ByRSU Harapan Ibu

SURVEY VERIFIKASI AKREDITASI RUMAH SAKIT KE – 2 VERSI 2012 OLEH KOMISI AKREDITASI RUMAH SAKIT (KARS)

Purbalingga – Rumah Sakit Umum Harapan Ibu Purbalingga merupakan salah satu rumah sakit yang sudah mendapatkan Akreditasi dengan predikat Paripurna.

Untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan kesehatan, RSU Harapan Ibu melaksanakan Survey Verifikasi Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 yang ke 2 pada hari Rabu 17 September 2019.  Survey verifikasi akreditasi tersebut dilaksanakan untuk memastikan Rumah Sakit Umum Harapan Ibu Purbalingga yang telah ter Akreditasi PARIPURNA dapat mempertahankan dan meningkatkan implementasi mutu layanannya.

Acara pembukaan survey verifikasi dilaksanakan pada pukul 08.00 Wib bertempat di gedung baru Aula lantai 2 RSU Harapan Ibu dan dihari oleh segenap Civitas RSU Harapan Ibu. dr. Hayati Isti Fadah selaku direktur membuka acara tersebut, dalam sambutannya beliau menyampaikan banyak terimakasih kepada semua karyawan RSU Harapan Ibu yang telah mempersiapkan tenaga, pikiran untuk menyambut survey verifikasi Akreditasi yang ke 2.

Survey verifikasi akreditasi tersebut dilakukan oleh dr. Praptama, M. PH. Selaku perwakilan Surveyor Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS).

Setelah acara pembukaan survey akreditasi, dilanjutkan dengan telaah dokumen dari setiap Standar Akreditasi, dan telusur ke unit kerja yang didampingi oleh pihak Manajemen RSU Harapan Ibu.


Kunjungan surveyor menuju setiap ruangan yang ada di RSU Harapan Ibu

ByRSU Harapan Ibu

Waspada Penyakit Jantung Bawaan (PJB) Pada Bayi dan Anak

Oleh dr. Ega Dwi Putranto – Dokter Umum RSU HI

Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kondisi tidak normal pada jantung dan atau pembuluh darah besar di dalam dada yang didapat sejak lahir. Dewasa ini, angka kejadian PJB di seluruh dunia diperkirakan sebanyak 0,8 % (8 bayi per 1000 kelahiran hidup) atau sekitar 40.000 bayi setiap tahun. PJB yang tidak terdeteksi sejak dini dan tidak tertangani dengan cepat akan berakibat pada kematian pada bulan-bulan pertama kehidupan (33-50%). Di negara maju, PJB dapat terdeteksi pada usia kurang dari 1 bulan, sedangkan pada negara berkembang seperti Indonesia, mayoritas kasus PJB terdeteksi ketika kondisi pasien mulai memburuk.

Penyebab pasti PJB hingga saat ini masih belum diketahui, namun terdapat berbagai faktor yang dapat meningkatkan risiko bayi untuk menderita penyakit bawaan lahir ini. Faktor risiko tersebut antara lain penggunaan obat – obat teratogenik oleh ibu saat hamil, adanya riwayat kejang / SLE (Sindrom Lupus Eritematosus) pada ibu hamil (terutama pada trismester 1), riwayat kehamilan / persalinan yang buruk, usia Ibu lanjut (berkaitan dengan sindrom Down), kondisi lingkungan, serta defisiensi asam folat dan multivitamin saat kehamilan. Riwayat PJB pada keluarga (genetik) juga memegang peranan penting.

Gejala klinis yang timbul bergantung pada tipe dan besar kerusakan jantung. Pada bayi dapat ditemukan sianosis (kebiruan terutama pada mulut) sampai dengan gagal jantung (sesak dll). Pada bayi hingga anak, gejala dapat berupa keringat berlebihan (diaforesis), kebiruan, pingsan, suara tambahan pada jantung, hingga gagal jantung. Keluhan nyeri dada juga dapat ditemukan pada PJB. Oleh karena itu pengenalan dan deteksi dini dapat mengurangi risiko keterlambatan terapi sehingga dapat diperoleh masa depan anak yang lebih baik. Apabila orang tua mendapatkan kecurigaan gejala – gejala di atas, maka dapat segera dikonsultasikan ke dokter umum untuk screening dan penanganan awal atau ke dokter spesialis anak untuk penanganan selanjutnya. Terimakasih semoga bermanfaat.